Makalah GAMBARAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERKEMBANGAN IPTEK DI BIDANG PETERNAKAN
Tugas Individu Dosen Pembimbing
Pengantar Ilmu dan Industri Peternakan Abdul
Fatah, S. Pt, M.Agr
GAMBARAN
PERMINTAAN DAN PENAWARAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERKEMBANGAN IPTEK DI BIDANG
PETERNAKAN
OLEH:
KHALIDAH
M. NOER HARAHAP
11581202662
JURUSAN
PETERNAKAN
FAKULTAS
PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN
SYARIF KASIM
RIAU
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah Swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “Gambaran Permintaan dan Penawaran Sektor
Peternakan serta Perkembangan IPTEK di Bidang Peternakan” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan penulisjuga berterima kasih pada
Bapak Abdul Fatah, S.Pt, M.Arg selaku Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu dan
Industri Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau yang
telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka memenuhi tugas dari mata
kuliah Pengantar Ilmu dan Industri Peternakan dan menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
penulis buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna penulis sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Pekanbaru,
10 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.............................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................2
C.
Tujuan..........................................................................................................3
D.
Manfaat........................................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Tingkat Permintaan Daging Sapi di Indonesia.......................................4
B.
Perkembangan Produksi dan Import Daging Sapi di Indonesia.............6
C.
Kinerja Agribisnis Sapi di
Indonesia....................................................9
D.
Strategi dan Implementasi Pembangunan Sistem Agribisnis Sapi
Potong..................................................................................................13
BAB III :
PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peningkatan pendapatan masyarakat akan membuka
peluang bisnis yang lebih besar khususnya bagi bisnis komoditi yang bersifat
elastis terhadap perubahan pendapatan Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu
sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan
penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat.
Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor
peternakan, karena pada tahun 2003 saja telah mampu menyumbang 66 % atau
lebih 350.000 ton dari total produksi daging dalam negeri yang sebesar lebih
530.000 ton (Aryogi dan Didi, 2007). Namun demikian, kemampuan produksi daging
sapi dalam negeri tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga
menyebabkan impor sapi hidup, daging sapi maupun jeroan sapi masih terus
tinggi.
Sebagai gambaran pentingnya peternakan sapi di Indonesia
adalah masih tergantungnya dari suplai Luar Negeri. Untuk memenuhi kebutuhan
daging serta sapi bakalan yang akan digemukkan oleh feedloter sampai saat ini
masih tergantung pada impor. Data Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter
Indonesia (APFINDO) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 200.000 ekor sapi
bakalan per tahun diimpor dari luar negeri, bahkan sumber lain menyebutkan
sampai mencapai 400.000 ekor per tahun.
Ternak sapi memiliki peran penting dan peluang pasar yang
menggembirakan karena merupakan ternak unggulan penghasil daging nasional. Di
beberapa daerah, pemeliharaan sapi dilakukan secara terpadu dengan tanaman yang
dikenal dengan sistem integrasi ternak-tanaman.
Indonesia sebagai daerah tropis dengan potensi
sumberdaya alam yang melimpah sangat mendukung untuk pengembangan
peternakan sapi potong, hanya saja pemeliharaan sapi umumnya diusahakan secara
tradisional atau sambilan sehingga produktivitasnya rendah. Oleh karena itu,
upaya untuk memberdayakan petani-peternak sapi penting dilakukan karena
memelihara sapi didominasi oleh petani-peternak . Pengembangan usaha
ternak perlu ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang relevan sehingga
memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani-peternak.
Kebijakan pemerintah melalui pengembangan
agribisnis sapi potong pada masyarakat diarahkan untuk mencapai
swasembada daging dan mengurangi ketergantungan terhadap import sapi potong.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka
rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini meliputi:
a.
Bagaimana
tingkat permintaan daging sapi di Indonesia?
b.
Bagaimana
perkembangan produksi dan impor sapi potong?
c.
Bagaimana
Kinerja Agribisnis Sapi Potong?
d.
Bagaimana
Strategi dan Implementasi pembangunan Agribisnis Sapi Potong?
e.
Bagaimana
Perkembangan IPTEK di Sektor Peternakan Saat ini?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
a.
Mengetahui tingkat permintaan daging sapi di Indonesia.
b.
Mengetahui perkembangan produksi dan import sapi potong.
c.
Mengetahui
Kinerja agribisnis sapi potong
d.
Mengetahui
Strategi dan Implementasi pembangunan Agribisnis sapi potong.
e.
Mengetahui
Perkembangan IPTEK di bidang peternakan
D.
Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan
makalah ini, antara lain sebagai berikut:
a. Memenuhi tuntutan tugas dari dosen
b. Dapat menambah wawasan dari ilmu
pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tingkat
Permintaan Daging Sapi di Indonesia
Usaha peternakan
sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya permintaan pasar
akan daging sapi masih terus mengalami peningkatan. Selain di pasar domestik,
permintaan daging sapi di pasar luar negeri juga cukup tinggi. Indonesia
merupakan salah satu negara pengekspor daging sapi ke Malaysia. Konsumsi daging
sapi di sana cenderung mengalami peningkatan karena bergesernya tradisi
mengkonsumsi daging kambing ke daging sapi atu kerbau pada saat perhelatan
keluarga dan perayaan hari besar lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 jiwa,
membutuhkan pasokan daging sapi dalam jumlah cukup besar. Sejauh ini peternakan
domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri.Timpangnya antara
pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi.Pemerintah (Kementrian Pertanian)
mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang
selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan
konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju pertumbuhan
konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju penngkatan
populasi sapi potong. Pada gilirannya, pada kondisi seperti ini memaksa
indonesia untuk selalu melakukan impor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun
daging.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementan 2010,
konsumsi daging sapi nasional sebesar 1,27 kg per kapita per tahun,
Ditjen Peternakan Kementan sebesar 1,7 kg per kapita per tahun, Asosiasi
Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) 2,1 kg per kapita per tahun dan
Asosiasi Feedloter Indonesia (Apfindo) 2,09 kg per kapita per
tahun.Selanjutnya Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar
2,14 kg/kapita/tahun.Tingginya tingkat konsumsi sapi di indonesia disebabkan
oleh 1) jumlah penduduk penduduk selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan
tingkat pertumbuhan sebesar 1,49 % per tahun; 2) konsumsi daging per kapita
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
Untuk melihat kebutuhan dan proyeksi kebutuhan daging
sapi secara Nasional dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Proyeksi Kebutuhan Daging sapi
Tahun 2000,2010 dan Tahun 2020.
NO
|
Tahun
|
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
|
Konsumsi
Daging kg/kapita/tahun
|
Produksi
Daging (000 ton)/tahun
|
Pemotongan
(ekor/Tahun).
|
Prosentae
kenaikan
(%)
|
1.
|
2000
|
206 Juta
|
1,72 kg
|
350,7
|
1,75 juta
|
–
|
2.
|
2010
|
242,4 juta
|
2,72 kg
|
654,4
|
3,3 juta
|
88,6
|
3.
|
2020
|
281 juta
|
3,72 kg
|
1,04 juta
|
5,2 juta
|
197
|
Sumber
data Susenas (2002)
Dari data tersebut diatas diperkirakan populasi sapi
potong pad tahun 2009 hanya mampu memasok 60 % dari total kebutuhan daging
dalam negeri.Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan karena suatu saat akan
terjadi kondisi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung
kepada import.Dengan demikian, ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi
harga sapi lokal.Namun disisi lain dengan adanya kebutuhan akan daging yang
semakin meningkat, membuka peluang usaha dalam Agribisnis sapi potong.
B. Perkembangan
Produksi dan Import Daging Sapi Tahun 2005-2009
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan produksi dan
impor daging sapi selama periode tahun 2005-2009 disajikan data pada Tabel 2.
Produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 masih
berfluktuasi. Peningkatan produksi daging sapi lokal yang tertinggi terjadi
pada tahun 2006 (19,2%), lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar -18,8 %
dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan
rata-rata peningkatan sebesar 9,1 %. Sementara itu impor daging, baik yang
berasal dari sapi bakalan dan daging, selama kurun waktu 2005 sampai dengan
2008 mengalami peningkatan rata-rata 10,6 % dan pada tahun 2009 mengalami
penurunan sebesar 5 % dibanding tahun 2008.
Tabel.2. Perkembangan Produksi dan daging Sapi Import Tahun 2005-2009
Uraian
|
Tahun
|
||||
Eksport
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
(000 ton)
|
|||||
Prudoksi Lokal
|
|||||
Import
|
217,4
|
259,5
|
210,8
|
233,6
|
250,8
|
Bakalan
|
113,3
|
119,2
|
124,8
|
150,4
|
142,8
|
Daging
|
56,2
|
62,0
|
64,0
|
70,0
|
70,0
|
Total
Produksi lokal dan import
|
330,7
|
378,7
|
335,6
|
384,1
|
393,6
|
Sumber :Blue Print PSDS Tahun 2014 (2010)
Berdasarkan Tabel 2., volume impor (bakalan dan daging)
yang terjadi selama periode tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut : pada tahun
2005 (34 %), 2006 (31 %), 2007 (37 %),2008 (39 %), dan 2009 (36 %) dari
penyediaan total daging sapi di pasar domestik.
Hal yang menarik untuk dikaji adalah mata rantai
pemasaran daging impor, dimana pola distribusinya dapat melalui berbagai alur,
yakni secara langsung dari importir ke hotel atau restoran tertentu atau dapat
juga dari importir ke distributor terlebih dahulu, kemudian didisitribusikan ke
hotel,supermarket, meatshop dan pedagang pengecer di pasar tradisional.
Segmentasi pemasaran daging berdasarkan kualitas pada umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut : (i) Prime cut meat untuk hotel
berbintang, cafe, catering dan supermarket; (ii) Secondary cut meat untuk
meatshop, pasar tradisional, rumah tangga; (iii) Variation meat khususnya
jenis trimming meat dominan digunakan untuk bahan baku industri
pengolahan daging seperti kornet, sosis, bakso;(iv) Offal digunakan pada
industri pengolahan dan industri kuliner tradisional seperti konro,coto, rujak
cingur, sop buntut, dan bakso. Produksi daging dalam negeri berasal dari
berbagai rumah potong hewan dan tempat pemotongan hewan. Walaupun demikian
sebelum memasuki RPH dan TPH ternak hidup berasal dari peternak yang kemudian
dibeli oleh belantik kampung sebagai pengepul. Dari belantik kampung ini langsung
masuk ke pasar hewan atau dibeli oleh pedagang besar antar daerah. Selanjutnya
pedagang besar antar daerah tersebut ternak diperdagangkan dengan memperoleh
margin keuntungan. Pada belantik kampung ternak dibawa ke pasar hewan dan
terjadi transaksi dengan para pembeli atau jagal yang selanjutnya oleh jagal
dibawa ke rumah potong hewan untuk dipotong. Dari RPH maupun TPH tersebut
daging masuk kepada pengecer daging dan ke pasar-pasar tradisional yang akan
dibeli oleh para konsumen hari itu juga (Kementerian Pertanian RI, 2010).
Penulis berpendapat bahwa perlunya pencermatan terhadap pengaturan volume
daging impor, penulis memprediksi jika volume daging impor dikurangi sampai ke
batas 50 % saja, kebutuhan dalam negeri masih dapat dipenuhi, walaupun
akan terjadi kenaikan harga daging sapi di pasar domestik (yang justru
menguntungkan peternak). Marjin usaha yang diperoleh peternak sapi lokal akan
memberikan stimulasi pada perkembangan produksi sapi daging lokal selanjutnya.
Selama ini ketergantungan daging dan sapi bakalan impor untuk memenuhi konsumsi
domestik seolah “berjalan apa adanya”, tanpa upaya keras dari kementerian
pertanian untuk 2 (dua) pekerjaan yang penting dalam pembangunan agribisnis
daging sapi di Indonesia,yakni penguatan sistem pembibitan yang benar, efektif
dan efisien (breeding) dan pengembangan usaha perkembangbiakan sapi (cow
calf operation).Harus diakui bahwa peternak sapi berskala kecil yang selama
ini menjadi basis penyediaan daging sapi domestik di Indonesia, hanya sedikit
peternak yang berskala menengah atau besar yang beroperasi melakukan agribisnis
sapi potong, dalam jumlah sedikit itu pula, mereka umumnya terbatas pada
kegiatan fattening, yang dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan
kegiatan breeding dan cow calf operation . Di sisi lain, profil
peternakan rakyat berskala kecil umumnya berstatus keeper atau user, yang
seharusnya mereka perlu diberdayakan sebagai meat produce.
C. Kinerja
Agribisnis Sapi Potong Indonesia
Pengembangan
agribisnis sapi Potong di Indonesia pada masa lalu sangat minim.Tulang punggung
dalam penyediaan daging sapi di indonesia hampir seluruhnya ditangan peternak
rakyat yang umumnya skala kecil,hanya sebagai usaha sambilan atau cabang usaha
dan tersebar mengikuti penyebaran penduduk.Selain investasi pemerintah dalam
pembangunan sarana dan prasarana agribisnis sapi potong,hampir tidan ada
investasi swasta (pengusaha swasta) dalam agribisnis sapi potong baru muncul
tahun 1990 pada usaha penggemukan dan perdagangan daging sapi,setelah
pemerintah membuka import sapi bakalan secara terbatas.
Dalam upaya mendorong pertumbuhan populasi sekaligus
untuk perbaikan mutu genetik sapi potong, maka pemerintah telah memasyarakatkan
teknologi inseminasi buatan.Namun karena keterbatasan yang dimiliki
pemerintah,jangkauan inseminasi buatan masih terbatas.Hasil evaluasi sosial
ekonomi pelaksanaan inseminasi buatan sapi potong di beberapa wilayah seperti
lampung,jawa barat, dan jawa timur menunjukkan bahwa realisasi inseminasi
buatan sapi potong masih sekitar 30-50 persen dari potensi akseptor
(PSP-IPB,1986).Selain itu pada wilayah-wilayah pelayanan inseminasi buatan
tersebut, ditemukan bahwa efisiensi reproduksi dari sapi potong masih
relatif rendah (sekitar 60 persen dari potensi efisiensi reproduksi).Hal ini
disebabkan karena berbagai faktor seperti keterlambatan diagnosa birahi dari
peternak, gangguan organ reproduksi,kualitas pakan yang rendah, dan kesalahan
teknis dari para inseminator.
Rendahnya efisiensi reproduksi dan terbatasnya jangkauan
inseminasi buatan menyebabkan pertumbuhan populasi sapi potong di indonesia
rendah.Akibatnya laju pertumbuhan produksi daging sapi domestik juga relatif
lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan permintaan daging sapi domestik.Ketidak
seimbangan ini telah ikut menyebabkan relatif mahalnya harga sapi di
pasar domestik.
Dalam keadaan demikian, pemerintah menghadapi masalah
yang dilematis antara membela konsumen atau produsen.Dari sudut kepentingan
konsumen, seharusnya pemerintah membebaskan import daging atau sapi bakalan,
namun harus mengorbankan kepentingan agribisnis sapi potong domestik.Bila
pemerintah melarang import daging dan sapi bakalan, harga daging sapi di pasar
domestik akan melambung tinggi, sehingga merugikan konsumen.Tampaknya
pilihan yang dilakukan oleh pemerintah adalah berpihak pada kepentingan
agribisnis sapi potong domestik sembari mencegah kenaikan harga daging sapi
yang terlalu tinggi,dengan cara mengimport daging sapi dan sapi bakalan secara
terkontrol.
Secara teoritis, relatif mahalnya harga daging sapi di
pasar domestik akan merangsang produsen sapi potong untuk meningkatkan
produksinya.Fenomena ekonomi ini tampaknya tidak berjalan pada peternak
rakyat.Hal ini banyak disebabkan karena usaha sapi potong bagi peternak rakyat
masih bersifat sambilan dan cenderung berfungsi sebagai tabungan dan atau
status sosial.Pada Pola dan peran usaha sapi potong peternak rakyat yang
pengambilan keputusan bagi peternak rakyat,melainkan lebih banyak ditentukan
oleh pertimbangan non ekonomi.
Dengan kinerja agribisnis sapi potong yang demikian
,jelas sulit diharapkan menjadi andalan penyedian daging sapi dalam perdagangan
bebas . Kalau kondisi agribisnis sapi potong yang demikian tetap
berlangsung,dikhawatirkan akan terdersak oleh daging sapi
import.Sebaliknya,bila pengadaan daging sapi dipenuhi sebagian besar oleh
import akan menghadapi resiko dan mengorbankan devisa yang besar.Dengan jumlah
penduduk yang semakin bertambah sekitar 220 juta jiwa dan konsumsi daging 2 kg
saja, maka kita memerlukan sekitar 4 juta ekor sapi potong setiap tahunnya.Bila
separuhnya saja dipenuhi oleh import,maka seluruh produksi sapi potong dari
australia harus kita import.jelas hal ini mengorbankan devisa negara yang cukup
besar.Selain itu untuk memperoleh sekitar 2 juta ekor sapi setiap tahun dari
pasar internasional tidaklah mudah dimasa yang akan datang. Oleh sebab
itu,pilihan terbaik adalah mempercepat pertumbuhah agribisnis sapi potong di
Indonesia.
Swasembada Daging Sapi sudah ditetapkan sejak tahun 2005,
namun belum tercapai alias gagal, kemudian pemerintah pun mencanangkan
Swasembada Daging Sapi 2010, juga belum tercapai, sehingga pemerintah harus
mencanangkan kembali program Swasembada Daging Sapi 2014, sebagai bentuk
indikasi pencapaian arah revitalisasi peternakan. Berdasarkan Tabel 2. volume
impor (bakalan dan daging) diproyeksikan pada tahun 2010 (29,8 %), 2011 (24,5
%), 2012 (19,5 %), 2013 (14,7 %), dan 2014 (10 %) dari penyediaan total daging
sapi di pasar domestik. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bahwa proyeksi
tersebut berstatus “more likely” atau dianggap paling realistis, jadi
dalam hal ini predikat swasembada daging yang hendak dicapai tahun 2014, masih
didukung dengan toleransi impor sebesar 10 %.
Tabel 3. Proyeksi penyediaan Daging Sapi tahun 2010-2014
Uraian
|
Tahun
|
||||
Eksport
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
(000 ton)
|
|||||
Produksi
Lokal
|
283
I 316,1 I
349,7 I
384,2 I 420,4
|
||||
Import
|
120,1
|
102,4
|
84,7
|
66,3
|
46,7
|
Bakalan
|
46,4
|
35,2
|
26,8
|
20,3
|
15,4
|
Daging
|
73,8
|
67,2
|
57,9
|
46,0
|
31,2
|
Total
Produksi lokal dan import
|
403,1
|
418,6
|
434,4
|
450,5
|
467,0
|
Persentase
Import
|
29,8 %
|
24,5 %
|
19,5 %
|
14,7 %
|
10,0 %
|
Sumber :Blue
Print PSDS Tahun 2014 (2010)
Berdasarkan data impor yang terjadi sampai dengan
semester pertama tahun 2010, alokasi impor daging yang direncanakan 73,8 ribu
ton, terpaksa harus ditambah menjadi 78,8 ribu ton.Berdasarkan data realisasi
impor pada Tahun 2010, bahwa koreksi sasaran swasembada daging sapi tahun 2014
sebenarnya sudah terjadi pada tahun 2010, hal ini menjadi isyarat penting
terhadap kemampuan pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014.
Hal yang paling ironis adalah bila realisasinya justru
mengikuti skenario “pesimistic”, dimana Skenario untuk mencapai
Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 harus disertai dengan terobosan yang
benar-benar dapat dijalankan oleh Kementerian Pertanian menyangkut penyediaan
bakalan/ daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi
lokal, pencegahan pemotongan sapi betina produktif, penyediaan bibit sapi dan
pengaturan stock daging sapi di dalam negeri, bila tidak dijalankan maka
ketergantungan terhadap daging sapi impor justru akan semakin membengkak.
D. Strategi
dan Implementasi Pembangunan Sistem Agribisnis Sapi Potong.
Kegiatan ekonomi
berbasis sapi potong tidak terlepas dari paradigma lama, bahwa pembangunan
peternakan masih dilihat secara terbatas yaitu sebagai usaha peternakan (on-farm),
sehingga usaha pembangunan peternakan juga hanya terbatas pada usaha
peternakan. Cara pembangunan peternakan yang terbatas itu, tidak sesuai lagi
dengan perkembangan peternakan yang ada, dimana sebagian besar sarana produksi
peternakan berasal dari luar usaha peternakan dan produksinya berorientasi
pasar. Oleh sebab itu, untuk mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis sapi
potong sebagai suatu sistem agribisnis.
Sistem Agribisnis sapi potong dapat dibagi atas 4 (empat)
subsistem, yaitu : (1) subsistem agribisnis Hulu (upstream off-farm
agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi, perdagangan) yang
menghasilkan sarana produksi peternakan seperti pembibitan sapi potong,
usaha/industri pakan, industri obat-obatan, industri inseminasi buatan,
beserta kegiatan perdagangannya ; (2) subsistem agribisnis budidaya sapi potong
(on farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana
produksi peternakan untuk menghasilkan komoditi peternakan primer (ternak
potong). Ketiga, subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness)
yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas primer menjadi produk yang siap guna
(ready for use), siap saji (ready to cook) dan siap konsumsi (
ready eat), beserta perdagangannya seperti industri pemotongan sapi
,industri pengalengan daging sapi ; (4) subsistem jasa penunjang (supporting
institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis sapi
potong seperti perbankan,transportasi, penyuluhan, lembaga penelitian dan
pendidikan.
Melalui sistem agribisnis sapi potong yang dilakukan
demikian, maka pembangunan ekonomi berbasis sapi potong adalah membangun
keempat subsistem tersebut secara simultan dan konsisten. Hal ini perlu
dilakukan karena daya saing agribisnis sapi potong tidak hanya ditentukan
oleh satu subsistem saja, akan tetapi ditentukan oleh keseluruhan subsistem
tersebut. Sebagai contoh ternak potong yang berkualitas tinggi yang dihasilkan
dari agribisnis hulu, tidak akan bermanfaat optimal bila tidak disertai dengan
teknologi penggemukan (fattening ) yang baik pada budidaya
dan teknologi pengolahan dan cara pemasaran yang baik pada agribisnis hilir dan
sebaliknya.Contoh lain kualitas kulit sapi yang bermutu tinggi, tidak mungkin
diperoleh bila tidak didukung teknik pemotongan dan teknik pemeliharaan
sapi yang baik.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka diperlukan
kebijakan dan strategi dan program pengembangan agribisnis sapi potong di
Indonesia mulai subsistem agribisnis hulu,subsistem budidaya,subsistem hilir
dan subsistem penunjang lainnya sehingga suatu saat ketergantungan terhadap
impor dapat dikurangi bahkan dapat mencapai swasembada daging.
Implementasi untuk mewujudkan pencapaian swasembada
daging sapi tahun 2014 maka pemerintah menyusun strategi sebagai berikut :
a.
Strategi
pada Subsistem Hulu
Strategi
yang dilakukan pada subsistem hulu adalah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan bibit sapi lokal (PO, Bali, dll), terutama pejantan unggul
hasil seleksi dan konservasi di daerah sumber bibit (2006-2010).
2.
Perbaikan teknologi reproduksi dan bibit sapi untuk peningkatan mutu
genetik (genetic improvement) melalui seleksi, pembentukan ternak komposit
maupun up grading yang dapat dilakukan dengan perkawinan alam maupun
inseminasi buatan (2006-2010).
3.
Sistem perbibitan yang murah dan efisien, terintegrasi dengan perkebunan,
tanaman pangan dan memanfaatkan sumber pakan lokal (2006-2010).
4.
Memantapkan kelembagaan sistem perbibitan sapi nasional (2006-2007).
5.
Pemanfaatan biomas lokal, limbah pertanian dan agroindustri sebagai sumber
pakan (2006-2010).
6.
Membangun pabrik pakan skala kecil dan menengah dengan memanfaatkan bahan
baku lokal dan inovasi teknologi (2006-2010).
7.
Mengembangkan obat tradisional dan vaksin lokal (2006-2010).
8.
Membangun sarana dan prasarana seperti laboratorium keswan, pasar hewan,
sumber air untuk
b.
Strategi pada Subsistem Usahatani (on Farm)
1.
Memberdayakan peternakan rakyat dengan membentuk kelompok besar dan
pemberian kredit dengan bunga rendah 6 persen per tahun (2006-2010).
2.
Mengembangkan peternakan yang efisien, terintegrasi dengan perkebunan
berskala besar dan memberi kemudahan bagi investor swasta, serta melibatkan
rakyat dengan pola inti-plasma (2006-2010).
3.
Mengembangkan feedlotter terintegrasi dengan perkebunan dan
ketersediaan sumber pakan lokal, sehingga biaya pakan murah dan sumber bakalan
lebih terjamin ketersediaannya.Keadaan ini akan terwujud apabila model
integrasi ternakperkebunan telah berkembang (2006-2010).
4.
Meningkatkan produktivitas ternak melalui; (i) perbaikan manajemen, (ii)
mempercepat umur (waktu) beranak pertama dari 42-50 bulan menjadi 26-36 bulan
melalui perbaikan dan jaminan ketersediaan pakan sepanjang tahun,(iii)
memperpendek jarak beranak dari 24-36 bulan menjadi 12-18 bulan melalui
perbaikan pakan dan ketersediaan pejantan unggul baik dengan kawin alam maupun
inseminasi buatan, (iv) menekan angka kematian sebesar 50 persen melalui
perbaikan manajemen dan penggunaan obat-obatan tradisional dan vaksin lokal
yang sesuai (2006-2010).
5.
Mempercepat pertambahan bobot badan ternak dan meningkatkan kualitas sapi
potong dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah
pertanian, perkebunan dan agroindustri (2006-2010).
6.
Memberi kemudahan bagi swasta untuk penyediaan sapi betina komersial
(impor) dalam upaya meningkatkan populasi induk produktif (2006-2007)
7.
Mempercepat penyediaan sapi pejantan lokal untuk menjamin kebutuhan
pejantan pada sistem perkawinan alami maupun IB (2006).
c.
Strategi pada Subsistem Hilir
1.
Memfasilitasi tersedianya RPH skala kecil dan menengah yang memiliki
fasilitas pendingin (cold storage) memadai untuk penyimpanan daging
segar/beku yang tidak terserap pasar (2006-2010).
2.
Meningkatkan efisiensi, higienis dan daya saing dalam pengolahan daging,
jerohan dan kulit disesuaikan dengan permintaan/ keinginan konsumen
(2006-2010).
3.
Mengembangkan diversifikasi produk olahan daging oleh pihak swasta
(2007-2010).
4.
Pengembangan industri kompos dan meningkatkan mutu pengolahan limbah dan
kotoran lainnya sehingga mempunyai nilai tambah lebih (melibatkan rakyat dan
swasta) (2006-2010).
5.
Pengembangan pembuatan biogas sebagai sumber energi lokal yang
berkelanjutan bagi keperluan bahan bakar keluarga (2006-2010).
d.
Strategi pada Subsistem Perdagangan Dan Pemasaran
1.
Peningkatan efisiensi pemasaran ternak sapi dan hasil ikutannya melalui
usaha pemasaran bersama dan melakukan pemendekan rantai pemasaran. Oleh karena
itu kelembagaan kelompok petani-ternak dan sistem pemeliharaan kelompok perlu
diperkuat/dikembangkan (2006-2010).
2.
Fasilitas transportasi untuk mendukung pemasaran ternak antar daerah atau
antar pulau perlu dikembangkan/ditingkatkan (2006-2010).
3.
Mengembangkan pola usaha peternakan yang mendekati pasar dengan sistem/pola
inti-plasma yang dimodifikasi agar lebih berpihak kepada peternak rakyat
(2006-2010).
4.
Promosi dan positioning product bahwa daging sapi lokal merupakan produk organic
farming (2006 – 2010).
e.
Strategi pada Subsistem Penunjang dan Kebijakan
1.
Kebijakan teknis :
a)
Mengembangkan agribisnis sapi pola integrasi tanamanternak berskala besar
dengan pendekatan LEISA dan zerowaste, terutama di perkebunan.
b)
Mengembangkan dan memanfaatan sapi lokal unggul sebagai bibit melalui
pelestarian, seleksi dan persilangan dengan sapi introduksi.
c)
Mengevaluasi kelayakan penerapan persilangan, teknologi IB, pengembangan
BIB Daerah, teknologi embrio transfer secara selektif.
d)
Memanfaatkan teknologi veteriner untuk menekan angka kematian sapi
e)
Mengembangkan dan memanfaatkan produksi biogas dan kompos secara masal
untuk memperoleh nilai tambah ekonomis bagi peternak.
f)
Pengembangan SNI produk kompos.
2.
Kebijakan regulasi :
a)
Mencegah terjadinya pemotongan hewan betina produktif dan ternak muda
dengan ukuran kecil yang jumlahnya masih sangat tinggi. Hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan peraturan yang berlaku melalui pendekatan sosial-budaya
masyarakat setempat.
b)
Melarang ekspor sapi betina produktif, terutama sapi lokal yang sudah
terbukti keunggulannya (terutama sapi Bali), karena selain memicu terjadinya
pengurasan sapi di dalam negeri juga ekspor bibit sapi tersebut akan memberi
kesempatan negara pengimpor untuk mengembangkan plasma nutfah Indonesia dan
menjadi kompetitor produsen sapi di kemudian hari.
c)
Mencegah dan melarang masuknya daging dari negara yang belum bebas penyakit
berbahaya, terutama PMK, BSE dan penyakit lainnya sesuai anjuran OIE, serta
memberantas masuknya daging illegal yang tidak ASUH.
E.
Perkembangan IPTEK di Bidang Peternakan
Perkembangan
Iptek di bidang peternakan sekarang ini sangatlah pesat hal ini membawa
perubahan yang menguntungkan di sektor peternakan. Perkembangan IPTEK tersebut di antara nya yaitu :
1.
Teknologi Cloning dan splitting embrio
Saat ini pembelahan
embrio secara fisik telah berhasil menghasilkan kembar identik pada domba,
sapi, babi dan kuda. Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan
beberapa kali, tetapi sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat
rendah. Embrio sapi pada stadium akhir dan blastosist dapat dibelah menjadi dua
bagian, setengahnya dapat dikembalikan langsung kedalam uterus dan sebahagian
sisanya dapat segera ditransfer ke resipien. Teknik splitting ini dimasa depan
mempunyai prospek yang sangat bagus, terutama pada ternak yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi (sapi perah). Akan tetapi penyempurnaan agar tingkat
keberhasilannya lebih baik lagi dan aplikasinya lebih mudah dan murah perlu
terus dilakukan. Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan
cloning pada katak dan pada tahun 1980an untuk pertama kali dilaporkan cloning
pada domba.
Tahun 1996 telah
dilaporkan suatu hasil cloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan
kelenjar susu. Selanjutnya cloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel
telur pada stadium methaphase II juga telah berhasil. Yang terbaru adalah
keberhasilan kelahiran delapan ekor pedet hasil cloning yang berasal dari sel
epithel jaringan reproduksi sapi betina dewasa Keberhasilan dari teknologi ini
akan memberi Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 101 peluang yang besar
terhadap kemajuan iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun
cloning juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in
vitro (cryogenic preservation). Akan tetapi upaya-upaya agar teknologi ini
mempunyai manfaat ekonomis masih perlu dikaji, disamping masalah lain yang
berkaitan dengan masalah sosial. Saat ini perkembangan teknologi splitting
embrio di Indonesia masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatannya
maupun tingkat keberhasilanya.
2.
Kriopreservasi Embrio
Adalah suatu proses
penghentian untuk sementara kegiatan hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel,
dimana proses hidup dapat berlanjut setelah pembekuan dihentikan. Secara umum
terdapat dua metode pembekuan yang telah dikembangkan, yaitu metode
kriopreservasi konvensional dan metode vitrifikasi.
a. Metode konvensional
Metode konvensional
sangat menekankan pada pembekuan lambat, sehingga berpeluang besar terbentuk
kristal es. Metode ini memerlukan alat pembekuan terprogram untuk mengatur
proses dehidrasi sel dan kecepatan pembekuan.
b.
Metode vitrifikasi
Metode
vitrifikasi, pembekuan embrio dilakukan secara cepat pada temperatur -196
derajat Celcius dengan menggunakan krioprotektan konsentrasi tinggi sehingga
dapat menghindari terbentuknya kristal es yang dapat merusak membran sel saat
pembekuan. Pembekuan embrio dengan metode ini dapat dilakukan dengan lebih
murah (tidak diperlukan peralatan yang mahal), prosedur yang mudah, dan cepat
3.
Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi In Vitro dirintis oleh P.C
Steptoe dan R.G Edwards (1997). Merupakan suatu upaya peningkatan produksi
didalam menyelamatkan bibit unggul yang tidak dapat dilakukan dengan
fertilisasi in vivo yaitu dengan suatu teknik pembuahan dimana sel ovum dibuahi
diluar tubuh. Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak,
khususnya sapi merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk
sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat
memproduksi embrio sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk
resipien, sehingga dapat diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk
meningkatkan populasi ternak di Indonesia.
In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan
metode pengamatan terhadap terjadinya proses fertilisasi dengan cara membuat
percobaan pembuahan di luar tubuh. Menurut Supri Ondho (1998) secara garis
besar percobaan IVF meliputi serangkaian kegiatan berupa mengumpulkan ovarium,
koleksi oosit, kapasitasi spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan fertilisasi In Vitro :
Pengumpulan ovarium dari Rumah Pemotongan
Hewan (RPH), Pengumpulan ovarium dilaksanakan dengan cara mengambil ovarium
dari ternak yang dipotong. Setelah ovarium didapatkan, kemudian dimasukkan ke
dalam NaCl fisiologis 0,9% dan di bawa ke laboratorium.
Koleksi Oosit, proses koleksi oosit ini
dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu aspirasi (menghisap), sayatan dan
injeksi medium. Maturasi Oosit,
Fertilisasi, Kultur in Vitro, Pembekuan Embrio, Program Transfer Embrio
4.
Sexing Spermatozoa
Sexing atau pemisahan sperma adalah
kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat kelamin
jantan dengan betina. Teknologi ini bertujuan untuk menjawab tingginya
permintaan peternak terhadap pedet atau anak sapi jantan potong karena harga
jualnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak betina. Sedangkan
khusus untuk bangsa sapi penghasil susu atau Frisian Holand (FH), benih yang
diminamati adalah yang betina. Metode dalam sexing spermatozoa yang sering
digunakan adalah dengan menggunakan metode :
a.
Sentrifugasi merupakan
medium yang terdiri dari partikel silica colloidal dengan lapisan
polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa
motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal
b.
Swim up Bertujuan untuk
menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari non-motil,
celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi
kualitas spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke
permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X.
Metode –metode ini mendasarkan dari spermatozoa yang
berada pada lapisan atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa
berkromosom Y dan Spermatozoa berkromosom Y mempunyai kemampuan bermigrasi
lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila dilakukan
sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Laju pertambaan penduduk semakin meningkat, berpengaruh
terhadap meningkatnya permintaan daging secara nasional.
Produksi sapi bakalan belum mampu memenuhi kebutuhan
dalam negeri,sehingga Volume import sapi bakalan dan daging sapi tahun
2005-2015 masih relatif tinggi dan berfluktuatif, karena usaha peternakan sapi
masih didominasi oleh peternakan rakyat.
Kinerja Agribisnis Sapi Potong di Indonesia masih
rendah,sehingga diperlukan strategi untuk mempercepat agribisnis sapi potong
melalui sistem pembibitan yang baik,efektif dan efisien.
Strategi dan Implementasi agribisnis sapi potong ditempuh
melalui program pemerintah dengan menerapkan sistem agribisnis mulai dari
Hulu, Hilir, perdagangan dan pemasaran serta unsur penunjang lainnya.
Kemajuan IPTEK di bidang peternakan membawa kemajuan
tersendiri di bidang peternakan yang membawa dampak yang sangat signifikan bagi
sektor peternakan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Haris
Budiyono,2010.Analisis Neraca Perdagangan Peternakan dan Swasembada
daging sapi 2014. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan wilayah Vol.1 No.2,Juli
2010
Prajogo
U.Hadi,2002.Problem Dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong Di
Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian 2002.
Parimartha.K.W,Cyrilla.L,Perjaman.HP.2002.Analisis
Strategi Bisnis Sapi Potong Pada PT.Lembu Jantan Perkasa,
Rianto.E,
Purbowati.E,2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penerbit Penebar Swadaya-
Jakarta
Saragih,B.2001.Agribisnis
Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran.Penerbit Pustaka Wirausaha Muda –
Bogor.
Siregar
Basya.S,1996.Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah Dalam Menghadapi Era
Perdagangan Bebas.Wartazoa Vol.5.No1.
0 Response to "Makalah GAMBARAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERKEMBANGAN IPTEK DI BIDANG PETERNAKAN "
Post a Comment